Banjir di
Pilipina Bencana Ulah Manusia
PARA pakar
mengatakan, banjir mematikan yang telah merendam hampir semua wilayah ibukota
Pilipina kurang tepat dikatakan sebagai bencana alam tapi lebih tepat disebut
sebagai akibat buruknya perencanaan, lemahnya penerapan aturan dan sikap
politik lebih mementingkan diri sendiri.
Batas-batas
air yang rusak, kawasan pemukiman kumuh yang luas di berbagai zona berbahaya
dan tidak terurusnya sistem drainase merupakan sebagian dari banyak faktor yang
membuat kota semrawut berpenduduk 15 juta jiwa itu jadi jauh lebih rentan
terhadap banjir-banjir besar.
Perencana urbanisasi kota Manila, Nathaniel Einsidel mengatakan Pilipina memiliki pengetahuan teknis memadai dan dapat menemukan pendanaan yang seharusnya untuk memecahkan problema tersebut, akan tetapi sayangnya tidak ada visi atau kemauan politik.
"Keadaan itu mencerminkan tidak adanya apresiasi terhadap bermacam manfaat rencana-rencana jangka panjang. Maka yang muncul adalah siklus kejam bila perencanaan, kebijakan dan penegakan aturan tidak berjalan dengan amat sinkron," papar Einseidel, yang menjabat ketua perencanaan Manila dari 1979 hingga 1989.
"Saya sudah tidak dengar lagi pemerintah lokal, kota kecil atau besar yang memiliki masterplan (rencana induk) drainase yang komprehensif," tegasnya.
Delapan puluh persen dari wilayah Manila digenangi air pekan ini sehingga di sejumlah tempat ketinggian banjir mencapai hampir dua meter, setelah curah hujan yang lebih dari normal selama Agustus mengguyur kota tadi dalam 48 jam.
Duapuluh orang meninggal dan dua juta orang lain terkena imbas air bah itu, ujar pemerintah.
Banjir besar itu serupa dengan air bah pada 2009, suatu bencana yang merenggut nyawa lebih 460 orang dan membuat pemerintah mengeluarkan beberapa janji untuk menyulap kota besar itu lebih resisten terhadap banjir.
Sebuah laporan pemerintah yang dirilis pada waktu itu menyerukan agar 2,7 juta orang penghuni daerah-daerah kumuh dipindahkan dari "zona-zona berbahaya" sepanjang bantaran sungai, danau dan selokan.
Para pemukim daerah kumuh itu, yang tertarik oleh bermacam peluang ekonomi di kota itu, kerap membangun gubuk-gubuk di atas bantaran sungai, saluran dan kanal. Mereka membuang sampah sembarangan sehingga membuat terhambat aliran sungai.
Rencana itu akan mempengaruh satu dari lima warga ibukota dan memakan waktu 10 tahun serta menghabiskan dana 130 miliar peso (3,11 miliar dolar AS) untuk melaksanakannya.
Namun komunitas-komunitas daerah kumuh di zona-zona bahaya malah makin tumbuh sejak tahun 2009.
"Dengan meningkatnya jumlah orang yang menduduki zona-zona bahaya, maka warga tak terelakkan berada dalam bahaya bila hal-hal ini terjadi," ungkap Einseidel.
Dia menyalahkan fenomena buruknya pelaksanaan bermacam regulasi yang melarang pembangunan di bantaran anak sungai dan saluran air, dengan para politisi lokal kerap ingin mempertahankan para penghuni tetap berada di komunitas mereka untuk memastikan memperoleh suara mereka pada waktu pemilihan.
Sementara itu di daerah-daerah pinggiran Manila, area-area hutan yang vital artinya justru telah dirusak untuk membuka ruang bagi pembangunan perumahan-perumahan buat masyarakat lapisan menengah dan atas, papar arsitek Paulo Alcazaren.
Alcazaren, yang juga perencana urban, menjelaskan pekerjaan tambal sulam struktur politik Manila telah membuat segala sesuatu bahkan jadi lebih sulit.
Ibukota itu sebetulnya terdiri atas 16 kota besar dan kecil, dengan masing-masing kota memiliki pemerintah sendiri, dan kota-kota itu kerap melaksanakan program-program infrastruktur -- semisal perlindungan drainase alami dan buatan manusia -- tanpa kordinasi.
"Kota-kota individu bisa saja tidak pernah memecahkan problema itu. Kota-kota tersebut hanya dapat memitigasi. Jika anda ingin memerintah dengan baik maka anda harus menyusun ulang atau menyingkirkan berbagai perbatasan politik yang ada saat ini," ungkap pakar tadi.
Berbagai solusi terhadap banjir akan bergantung penuh pada upaya-upaya secara masif seperti penanaman ulang pohon di lokasi penampungan drainase alami, membangun perumahan rendah biaya bagi pemukim daerah kumuh dan membersihkan sistem drainase buatan, jelas para pakar.
"Langkah-langkah itu akan menelan biaya miliaran peso tapi kita tetap saja menderita kerugian miliaran setiap kali banjir datang," ucap Alcazaren.
Sementara itu, dengan adanya peringatan Menteri Lingkungan Hidup Ramon Paje bahwa hujan-hujan lebat seperti pekan ini akan jadi "hal normal baru" dikarenakan perubahan iklim, ada berbagai keprihatinan soal kemampuan kota itu untuk menarik dan mempertahankan para investor.
Kendati demikian, Ketua Kamar Dagang Amerika Rhicke Jennings menegaskan Manila tetap sebagai sebuah destinasi yang atraktif.
"Perusahaan-perusahaan akan terus menanamkan modal di Pilipina karena kota itu memiliki banyak kualitas positif," papar Jennings, yang menyebutkan staf Pilipina terlatih dan menunjuk bagian-bagian penting kota itu yang memiliki infrastruktur bagus yang tak begitu terendam banjir.
Jennings menyebutkan kemunculan sektor outsourcing di Pilipina sebagai bukti bahwa orang-orang asing tidak akan meninggalkan negara itu dikarenakan banjir.
Perencana urbanisasi kota Manila, Nathaniel Einsidel mengatakan Pilipina memiliki pengetahuan teknis memadai dan dapat menemukan pendanaan yang seharusnya untuk memecahkan problema tersebut, akan tetapi sayangnya tidak ada visi atau kemauan politik.
"Keadaan itu mencerminkan tidak adanya apresiasi terhadap bermacam manfaat rencana-rencana jangka panjang. Maka yang muncul adalah siklus kejam bila perencanaan, kebijakan dan penegakan aturan tidak berjalan dengan amat sinkron," papar Einseidel, yang menjabat ketua perencanaan Manila dari 1979 hingga 1989.
"Saya sudah tidak dengar lagi pemerintah lokal, kota kecil atau besar yang memiliki masterplan (rencana induk) drainase yang komprehensif," tegasnya.
Delapan puluh persen dari wilayah Manila digenangi air pekan ini sehingga di sejumlah tempat ketinggian banjir mencapai hampir dua meter, setelah curah hujan yang lebih dari normal selama Agustus mengguyur kota tadi dalam 48 jam.
Duapuluh orang meninggal dan dua juta orang lain terkena imbas air bah itu, ujar pemerintah.
Banjir besar itu serupa dengan air bah pada 2009, suatu bencana yang merenggut nyawa lebih 460 orang dan membuat pemerintah mengeluarkan beberapa janji untuk menyulap kota besar itu lebih resisten terhadap banjir.
Sebuah laporan pemerintah yang dirilis pada waktu itu menyerukan agar 2,7 juta orang penghuni daerah-daerah kumuh dipindahkan dari "zona-zona berbahaya" sepanjang bantaran sungai, danau dan selokan.
Para pemukim daerah kumuh itu, yang tertarik oleh bermacam peluang ekonomi di kota itu, kerap membangun gubuk-gubuk di atas bantaran sungai, saluran dan kanal. Mereka membuang sampah sembarangan sehingga membuat terhambat aliran sungai.
Rencana itu akan mempengaruh satu dari lima warga ibukota dan memakan waktu 10 tahun serta menghabiskan dana 130 miliar peso (3,11 miliar dolar AS) untuk melaksanakannya.
Namun komunitas-komunitas daerah kumuh di zona-zona bahaya malah makin tumbuh sejak tahun 2009.
"Dengan meningkatnya jumlah orang yang menduduki zona-zona bahaya, maka warga tak terelakkan berada dalam bahaya bila hal-hal ini terjadi," ungkap Einseidel.
Dia menyalahkan fenomena buruknya pelaksanaan bermacam regulasi yang melarang pembangunan di bantaran anak sungai dan saluran air, dengan para politisi lokal kerap ingin mempertahankan para penghuni tetap berada di komunitas mereka untuk memastikan memperoleh suara mereka pada waktu pemilihan.
Sementara itu di daerah-daerah pinggiran Manila, area-area hutan yang vital artinya justru telah dirusak untuk membuka ruang bagi pembangunan perumahan-perumahan buat masyarakat lapisan menengah dan atas, papar arsitek Paulo Alcazaren.
Alcazaren, yang juga perencana urban, menjelaskan pekerjaan tambal sulam struktur politik Manila telah membuat segala sesuatu bahkan jadi lebih sulit.
Ibukota itu sebetulnya terdiri atas 16 kota besar dan kecil, dengan masing-masing kota memiliki pemerintah sendiri, dan kota-kota itu kerap melaksanakan program-program infrastruktur -- semisal perlindungan drainase alami dan buatan manusia -- tanpa kordinasi.
"Kota-kota individu bisa saja tidak pernah memecahkan problema itu. Kota-kota tersebut hanya dapat memitigasi. Jika anda ingin memerintah dengan baik maka anda harus menyusun ulang atau menyingkirkan berbagai perbatasan politik yang ada saat ini," ungkap pakar tadi.
Berbagai solusi terhadap banjir akan bergantung penuh pada upaya-upaya secara masif seperti penanaman ulang pohon di lokasi penampungan drainase alami, membangun perumahan rendah biaya bagi pemukim daerah kumuh dan membersihkan sistem drainase buatan, jelas para pakar.
"Langkah-langkah itu akan menelan biaya miliaran peso tapi kita tetap saja menderita kerugian miliaran setiap kali banjir datang," ucap Alcazaren.
Sementara itu, dengan adanya peringatan Menteri Lingkungan Hidup Ramon Paje bahwa hujan-hujan lebat seperti pekan ini akan jadi "hal normal baru" dikarenakan perubahan iklim, ada berbagai keprihatinan soal kemampuan kota itu untuk menarik dan mempertahankan para investor.
Kendati demikian, Ketua Kamar Dagang Amerika Rhicke Jennings menegaskan Manila tetap sebagai sebuah destinasi yang atraktif.
"Perusahaan-perusahaan akan terus menanamkan modal di Pilipina karena kota itu memiliki banyak kualitas positif," papar Jennings, yang menyebutkan staf Pilipina terlatih dan menunjuk bagian-bagian penting kota itu yang memiliki infrastruktur bagus yang tak begitu terendam banjir.
Jennings menyebutkan kemunculan sektor outsourcing di Pilipina sebagai bukti bahwa orang-orang asing tidak akan meninggalkan negara itu dikarenakan banjir.